Senin, 26 Mei 2008

Brain Drain dan Denasionalisme

Oleh : Achmad Fathoni*



Republika , Kamis 25 Oktober 2007 menurunkan berita tentang kisah pelarian kaum intelektual ( brain drain ), yang dalam hal ini para ahli dirgantara Indonesia ke luar negeri. Gelombang PHK yang hanya menyisasakan sekitar 3000-an karyawan itu memicu terjadinya brain drain.

Tercatat 20-an orang ke Eropa, 10-an ke USA, 15 ke Kanada, 15 ke Korea dan 35 ke Malaysia. Bahkan memunculkan kekhawatiran 2010 nanti aerospace Malaysia pada 2010 akan lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia yang justru ekspor heli pertamanya ke Malaysia.

Sebenarnya fenomena brain drain tidak hanya monopoli Indonesia. Bahkan negara Timur Tengah terutama Irak, Mesir dan Palestina serta Pakistan dan India pun mengalami hal yang sama. Dan tentu yang sangat diuntungkan dalam hal ini adalah negara yang menjadi tujuan. Karena mereka mendapatkan tenaga ahli dan professional dengan harga yang sangat murah dan tak perlu memilih-milih dari awal, sebab yang dating adalah tenaga yang sudah jadi. Dan yang dirugikan tentu negara yang ditinggalkan.



Mengapa terjadi brain drain ?


Kita bias melihat fenomena terjadinya brain drain dalam beberapa dimensi/ factor:

Dimensi social ekonomi ,

Di antaranya rendahnya taraf hidup , gaji dan penghargaan di tanah air. Siswa yang menang olimpiade sains. Sepi sambutan dan penghargaan. Dibandingkan dengan pemenang hiburan semisal pemenang AFI atau Indonesian Idol. Apalagi terhadap pemenang event olahraga, semisal sea games, asian games apalagi olimpidae. Bahkan sambutan tetap sepi terhadap pemenang olimpiade sians di Singapura yang mereka menolak unruk bergabung dengan Nanyang University dengan fasilitas yang luar biasa.

Lemahnya struktur ekonomi di tanah air, pesona ekonomi luar negeri, bekerja diluar negeri untuk investasi masa depan / hari tua mereka mengingat yang melakukan brain drain adalah usia-usian antara 30-45 tahun , persoalan pendidikan anak-anak mereka yang sudah terbiasa dengan kehidupan di negara lain, sampai pada pasangan hidup mereka yang memang warga luar yang didapatkan ketika belajar.



Dimensi akademis ,

Kurangnya biaya riset di tanah air. Keterbatasan dan lemahnya riset. Sedikitnya tantangan ilmiah.. Di sinilah terjadi persolan. Ketika mereka belajar dan kerja diluar negeri mereka mampu memuaskan dahaga intelektualnya karena fasilitas sangat tersedia

Persaingan ilmiah terpengaruh oleh hal-hal di luar masalah keilmuan. Seringkali factor politik dan atau ideology mempengaruhi karir para ilmuan. Kasus pemecatan karyawan PT DI / IPTN yang saat itu juga konon karena factor ini. Pemangkasan karier anak-anak dirgantara yang anak buah BJ Habibie oleh Menteri BUMN yang saat itu sangat tak menyukai Habibie.Tak ada hubungan antara pendidikan dan latihan-latihan setelah itu dan Terputusnya komunikasi antara pusat riset dan perusahaan- perusahaan besar.Seolah tak ada hubungan antara ilmu dengan dunia nyata, sehingga perusahaan-perusahaan besar enggan menjalin mitra dalam penelitian ilmiah yang sebenarnya erat hubungannya dengan dunia usaha.



Dimensi Politik,

Di sini ada yang merasakan kebebasan bila di luar negeri sehingga mereka memang mencarinya. Tetapi bias pula karena tekanan politik di dalam negeri sehingga mereka harus hengkan ke luar negeri atau memang tak boleh pulang ke tanah air. Kasus PKI di luar yang tak bias pulang adalah contohnya. Begitu juga anak-anak FIS yang tak boleh pulang ke Aljazair atau anak Palestina karena negaranya tak aman dari usilan Israel, sehingga lebih bias berkembang di luar negeri.



Kasus PT DI, denasionalisasi ?


Kita tentu tak harus cepat menvonis terjadi denasionalisasi pada mereka. Yang pasti bahwa dengan gaji yang tidak tinggi dibanding luar, mereka tetap bekerja di PT DI sampai titik darah penghabisan/ dipecat. Bahkan mereka tetap berusaha menjadi karyawan dengan cara demontrasi menuntut dikembalikannyua hak-hak mereka. Tetapi mereka sudah tidak ada harapan untuk kembali, apa yang bias mereka lakukan ? Ada dua kebutuhan yang mereka harus penuhi dan tak bias ditahan. Kebutuhan fisik dan intelektual.

Kebutuhan fisik tentu mereka mampu melakukannya di tanah air. Konon mereka ada yang terjun ke makanan anak-naka. Sebuah dunia yang tak ada hubungannya dengan ilmu yang mereka geluti dengan biaya negara yang begitu besar. Karena mereka dipersiapkan untuk mengurusi kedirgantaraan.

Akan tetapi yang lebih mendesak bagi mereka adalah kebutuhan intelektual. Mereka sudak internalized dengan dunia kedirgantaraan, tiba-tiba kebutuhan intelektualnya terbantai, maka mereka mencari tempat mampu memenuhi dahaga intelektual mereka sekaligus memenuhi kebutuhan periuk nasi dan pendidikan anak-anak mereka.

Dan apabila situasi memungkinkan sangat mungkin mereka akan kembali ke tanah air. Ada hal yang menarik dari jumlah meraka yang hengkan ke luar negar. Mengapa pilihan mayoritas justru ke Malaysia. Negara ‘serumpun’ dengan jarak geografis yang paling dekat ? Mayoritas tidak ke Kanada, Eropa, Korea atau USA yang berfasilitas lebih disbanding jiran kita tersebut? Kalau bertanya tentang nasionalisme , maka kita perlu bertanya nasionaliskah yang memecat mereka dan menjual asset negara ke luar negeri ? Jadi di sini juga ada dimensi politik yang memaksa mereka untuk ber-brain drain.

Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis adalah Ketua FLP Jombang

Tidak ada komentar: